Sekeping Logam Untuk Sang
Penjelajah Bis
By : Junaidah
Setiap
kali raga ini melintasi sepanjang jalan menuju kentingan kampus utama UNS. Ataupun
ketika aku mudik ke kampung halaman. Setiap pulang dari solo ke purwodadi
menaiki bus Rela. Ketika sampai di perempatan taman tirtonadi atau di rel masuk
kota solo yang lebih dikenal dengan joglo. Setiap kali kumelintasi jalan itu
selalu kutemui para pengamen jalan yang memetik senar ukulelenya demi
mengaharapakna sekeping uang logam dari para penumpang bus. Seringkali tak
satupun dari mereka yang memberikan sebagian rizkinya untuk para pengamen.
Tidak perlu disalahkan untuk mereka. Ada alasan tersendiri bagi mereka tidak
memiliki uang receh, memang benar-bearpelit, ataukah mereka tidak mau
membiarkan para pengamen menggantungkan hidupnya dengan meminta-meminta melalui
sarana bernyanyi dari satu bis ke bisa yang lain.
Akupun
tak munafiq seringkali merasa risih dengan dandanan mereka yang kumuh ketika
baru naik ke atas bis. Danadanan mereka yang kumel, rambutnya disemir gimbal,
dengan baju yang compang-camping, bolong-bolong, serta kadang bau yang agak
mengganggu. Namun, dibalik penampilannya terkadang ada yang membuat kita merasa
terkagum dengan lagu yang dilantunkan. Suara mereka sangat bagus, dan musik
yang dimainkannya cukup indah. Hal itu yang membuat aku terkagum.
Melihat
fenomena di atas, seharusnya mereka yang memiliki bakat menyanyi diberikan hak
yang sama dengan yang lain. Seharusnya mereka dikumpulkan dan diberikan
pendidikan khusus tentang dunia musik. Mereka sama dengan yang lain yang berhak
mendapatkan pendidikan di Indonesia. Seharusnya pemerintah memberikan
kesempatan mereka untuk terus mengasah bakatnya lewat layanan yang diakui oleh
pemerintah. Sehingga mereka tak berkeliaran dari satu bus ke bus yang lain.
Petikan
ukulele sang pengamen, tabuhan kendang sang pengamen, petikan gitar sang
pengamen jalanan, ataupun hanya lantunan suara dari mereka telah menjadi
hiburan tersendiri bagi para penumpang bus. Dibalik aksi naik turunya di bus,
kita tak pernah tau kehidupan mereka yang sebenarnya. Setragis yang kita
bayangkan ataukah berbading terbalik dengan yag kita asumsikan. Terkadang
sebagian penumpang yang gemes dengan adanya pengamen jalanan. Ada kalanya
mereka pura-pura tidur ketika sang pengamen memutarkan bungkus plastiknya dari
satu tempat duduk ke tempat duduk yang lain. Apresiasi terhadap penampilan mereka masih rendah. Masyarakat masih
bersifat egois dengan rizkinya yang telah diberikan kepada Allah. Seperti hal
yang telah saya ungkapkan di atas, setiap orang mempunyai prinsip tersendiri
dalam mengahadapi pengamen jalanan. Namun, yang terpenting bagiku tetaplah
berbagi rizki dengan makhluk Allah yang lain. Tidak ada salahnya jika kita
sedikit meluangkan sebagian rizki kita untuk yang lain walaupun hanya sekeping
gopek. Dengan seperti itu, kita berharap dapat membantu mereka untuk sekedar
mencari sesuap nasi dengan cara naik turun bus.
Semoga Bermanfaat dan
menjadi renungan bagi kita semua.