Jauh-jauh hari telah
digembar-gemborkan semenjak masa akhir jabatan kepala desa, yakni akan adanya
pesta demokrsi di desa “pemilihan kepala desa”. Semua warga telah mempersiapkan
membrikan dukungan terhadap calon-calon pemimpin yang akan mengaktualisasikan
seluruh kemampuanya dengan jiwa kepemimpinannya untuk desa tercinta.
Warga mulai
berbondong-bondong bergerombol memusat untuk mendukung calon yang akan memimpin
desa ini. Cuaca mulai memanas dan suhu politik mulai meningkat ketika awal bulan
oktober merupakan pendaftaran bakal calon yang akan mengisi kursi pemimpin
desa. Para tim sukses mulai mengambil strategi sejak dini, mengadakan blusukan
ke tiap-tiap rumah warga. Dan iklim politikpun mulai memanas.
Bagi warga biasa, ajang
pemilihan kepala desa menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Karena pada masa ini
akan ada gambar soekarno hatta yang bertebaran dimana-mana. Apalagi bagi warga
yang tidak memiliki hubungan atau dukungan bagi calon-calon atu bisa diartikan
sebagai orang netral. Mereka akan mendapatkan amplop dari semua calon kepala
desa.
Mendekati hari H
pemilihan kepala desa, mulai kucermati bagaimana sistem politik yang terjadi di
desaku. Dan mungkin inilah yang menjadi tradisi yang sudah mendarah daging dan
sejak lama ada turun-temurun. Aku tak bisa menyalahkannya, namun aku berhak
beropini tentang apa yang terjadi di desa ini. Mungkinkah ini yang telah
menjadi sistem demokrasi warga.
Demokrasi hanya
berdominasikan dengan tebalnya isi amplop. Mereka lebih memilih pemimpin yang
memberikan uang yang banyak. Dan terkadang anehnya materi dijadikan sebagai
jaminan sebagai dorongan untuk mendaptkan suara yang dikehendakinya. Para calon
rela membayar lebih hanya untuk mendapatkan suara terbanyak.
Kemudian bagaimanakan
hakikat pemimpin di desa ini. Kekerabatan mungkin yang kutangkap dari tema
pemilihan kepala desa. Bukankah ada yang lebih penting dari sebuah kekerabatan.
Janji, visi, dan misi mereka yang menurutku lebih kupertimbangkan. Namun, bukan
berarti aku tak memilih kerabatku ketika ada salah satu dari kerabatku yang
mencalonkan diri sebagai kepala desa. Aku hanya berspekulasi mengambil
kesismpulan dari pilkades kemarin, yaitu kekerabatan dan dendam. Dua kata
tersebut yang bisa kuungkapkan. Tentang dendam menurutku wajar adanya.
Masyarakat yang menjadi pendukung pemimpin yang telah berhasil memenagkan
pilkades, kelak nantinya berpotensi mengisi posisi terpenting di aparat
pemerintahan desa. Terlebih jika mereka kerabatnya. Akan lebih diprioritaskan.
Bukankah ini termasuk praktik nepotisme. Terus apakah selama ini demokrasi
disalahartikan. Ataukah ini memang tradisi yang telah mengakar. Seperti inikah
konsep demokrasi negeri ini. Para kerabatnya berbondong-bondong untuk mengisi
posisi yang ditawarkan. Seperti halnyasebuah kompetisi tentunya ada yang menang
dan ada yang kalah. Nah, bagi yang kalah, otomatis mereka akan menghakimi
sendiri tabiat sang pemimpin. Mencemarkan nama baik sang pemimpin. Bukankah
setiap manusia memilik hak yang sama. Dan dendamlah yang akan terjadi.
Menyimpan dendam yang teramat dalam. Menyebabkan hubungan mereka menjadi
renggang atau berselimutkan kebencian. Padahal rumah mereka hanya berbataskan
sekat dinding. Kemudian inikah sikap warga yang menjunjung tinggi demokrasi ??
Entahlah aku yang belum
mengetahuiinya ataukah aku yang salah memberikan persepsi. Selama ini yang
kulihat baru seperti itu, aku belajar hidup di masyarakat. Dan ternyata seperti
itukah sistem kehidupan di masyarakat. Tradisi ataukah evolusi yang kupahami
mungin belumlah sempurna. Karena aku baru berusia kepala dua. Masih banyak
cerita-cerit lain yang seharusnya aku cermati, aku ambil manfaatnya untuk bekal
hidup di masyarakat.
Ceritaku 24 Nopember
2013