Senin, 16 Desember 2013

Perebutan Kursi Petinggi Desa



Jauh-jauh hari telah digembar-gemborkan semenjak masa akhir jabatan kepala desa, yakni akan adanya pesta demokrsi di desa “pemilihan kepala desa”. Semua warga telah mempersiapkan membrikan dukungan terhadap calon-calon pemimpin yang akan mengaktualisasikan seluruh kemampuanya dengan jiwa kepemimpinannya untuk desa tercinta.
Warga mulai berbondong-bondong bergerombol memusat untuk mendukung calon yang akan memimpin desa ini. Cuaca mulai memanas dan suhu politik mulai meningkat ketika awal bulan oktober merupakan pendaftaran bakal calon yang akan mengisi kursi pemimpin desa. Para tim sukses mulai mengambil strategi sejak dini, mengadakan blusukan ke tiap-tiap rumah warga. Dan iklim politikpun mulai memanas.
Bagi warga biasa, ajang pemilihan kepala desa menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Karena pada masa ini akan ada gambar soekarno hatta yang bertebaran dimana-mana. Apalagi bagi warga yang tidak memiliki hubungan atau dukungan bagi calon-calon atu bisa diartikan sebagai orang netral. Mereka akan mendapatkan amplop dari semua calon kepala desa.
Mendekati hari H pemilihan kepala desa, mulai kucermati bagaimana sistem politik yang terjadi di desaku. Dan mungkin inilah yang menjadi tradisi yang sudah mendarah daging dan sejak lama ada turun-temurun. Aku tak bisa menyalahkannya, namun aku berhak beropini tentang apa yang terjadi di desa ini. Mungkinkah ini yang telah menjadi sistem demokrasi warga.
Demokrasi hanya berdominasikan dengan tebalnya isi amplop. Mereka lebih memilih pemimpin yang memberikan uang yang banyak. Dan terkadang anehnya materi dijadikan sebagai jaminan sebagai dorongan untuk mendaptkan suara yang dikehendakinya. Para calon rela membayar lebih hanya untuk mendapatkan suara terbanyak.
Kemudian bagaimanakan hakikat pemimpin di desa ini. Kekerabatan mungkin yang kutangkap dari tema pemilihan kepala desa. Bukankah ada yang lebih penting dari sebuah kekerabatan. Janji, visi, dan misi mereka yang menurutku lebih kupertimbangkan. Namun, bukan berarti aku tak memilih kerabatku ketika ada salah satu dari kerabatku yang mencalonkan diri sebagai kepala desa. Aku hanya berspekulasi mengambil kesismpulan dari pilkades kemarin, yaitu kekerabatan dan dendam. Dua kata tersebut yang bisa kuungkapkan. Tentang dendam menurutku wajar adanya. Masyarakat yang menjadi pendukung pemimpin yang telah berhasil memenagkan pilkades, kelak nantinya berpotensi mengisi posisi terpenting di aparat pemerintahan desa. Terlebih jika mereka kerabatnya. Akan lebih diprioritaskan. Bukankah ini termasuk praktik nepotisme. Terus apakah selama ini demokrasi disalahartikan. Ataukah ini memang tradisi yang telah mengakar. Seperti inikah konsep demokrasi negeri ini. Para kerabatnya berbondong-bondong untuk mengisi posisi yang ditawarkan. Seperti halnyasebuah kompetisi tentunya ada yang menang dan ada yang kalah. Nah, bagi yang kalah, otomatis mereka akan menghakimi sendiri tabiat sang pemimpin. Mencemarkan nama baik sang pemimpin. Bukankah setiap manusia memilik hak yang sama. Dan dendamlah yang akan terjadi. Menyimpan dendam yang teramat dalam. Menyebabkan hubungan mereka menjadi renggang atau berselimutkan kebencian. Padahal rumah mereka hanya berbataskan sekat dinding. Kemudian inikah sikap warga yang menjunjung tinggi demokrasi ??
Entahlah aku yang belum mengetahuiinya ataukah aku yang salah memberikan persepsi. Selama ini yang kulihat baru seperti itu, aku belajar hidup di masyarakat. Dan ternyata seperti itukah sistem kehidupan di masyarakat. Tradisi ataukah evolusi yang kupahami mungin belumlah sempurna. Karena aku baru berusia kepala dua. Masih banyak cerita-cerit lain yang seharusnya aku cermati, aku ambil manfaatnya untuk bekal hidup di masyarakat.

Ceritaku 24 Nopember 2013