Jumat, 29 Maret 2013

Kekedar Cerita Tantang Kasih Sayang Ibu



Ma’afkan Aku Ibu
Oleh       Junaidah

Embun subuh membasahi bumi. Rasa kantuk masih melanda para umat manusia. Suara adzan subuh telah membangunkan mata seluruh umat islam untuk bergegas menunaikan sholat subuh. Kokok ayam bersahutan pertanda kehidupan terang akan segera dimulai. Seketika dinda terbangun mengambil air wudhu kemudian sholat. Setelah itu dia harus mengerjakan segala urusan rumah, memasak, menyapu, mengepel, mencuci serta menyetrika semua pakaian ia dan ibunya. Setelah semuanya selesai ia mandi berdandan dan lekas berangkat kerja. Tidak pernah ada sapa antara ibu dan anak tersebut.
Dinda masih kecewa dengan ibunya. Dinda masih benci dengan ibunya karena ibunya yang telah menyebabkan ayahnya meninggal dunia 5 tahun yang lalu.
ibunya ditinggal dinda sendiri di rumah. Dinda bekerja dari pagi hingga jam 5 sore setelah itu ia harus mengajarkan ngaji anak-anak yang ada di musholla kampungnya. Setelah selesai dinda pun sibuk di depan laptop hingga tertidur. Ia merasa bahwa ia hidup sendiri di dunia ini.
Tetes hujan masih membasahi bumi, bersama kilauan petir yang menggelegar di langit. Sayup-sayup dedaunan bergoyang-goyang menemani aliran tetesan hujan ke jalanan. Hujan tak henti-hentinya mengucuri seluruh isi bumi. Sunyi senyap hanya sang angin dan badai yang bersahabat. Sore itu dinda sedang pulang bekerja menyursuri jalan menuju rumah dengan berspeda. Seluruh badanya basah kuyup. Gadis berkerudung besar itu selalu pulang kerja sendiri. Ia harus mengendarai sepeda sejauh 10 km dari rumah sampai di tempat kerjanya. ia mengayuh sepedanya dengan santai. Dinda melihat dari kejauhan di perempatan jalan ada seorang ibu-ibu tua yang sedang berjualan. Ibu tersebut menggendong keranjang dan menenteng plastik berisi dagangan. Tubuh renta sang ibu tersebut melangkah dengan sempoyongan sambil berkata “ sayur-sayur.” 
Dinda terus melaju kencang sepedanya mendekati ibu penjual. Tiba-tiba si ibu terjatuh di samping jalan. Dinda menambah kecepatan sepedanya. Kemudian menggeletakkan sepedanya. Dinda dengan segera menghampiri sang ibu.         
“ innalillahi wa inna ilaihi raaji’un, ibu..... ibu tidak apa-apa kan ?” sambil menolong sang ibu untuk berdiri.    
“ tidak apa-apa nak, hanya pandangan ibu yang sudah kabur” sang ibu duduk dengan penuh lesu.
 “jalan sini memang licin dan agak gelap bu jadi lain kali ibu hati-hati ya “  dinda ikut duduk di samping ibu.
“iya nak, ibu juga baru pertama kali lewat sini” ibu tersebut membereskan daganganya yang jatuh.
“ bu, saya , mau beli nasi+sayur ya 2 bungkus“
“iya nak, tunggu sebentar ya”
“ibu umurnya berapa? ibu sudah tua kok jualan padahal seharusnya ibu harus istirahat di rumah“
“ wah kurang lebih 70 tahun nak, ibu hidup sendiri nak, suami dan anak ibu sudah meninggal 30 tahun yang lalu, jadi ibu harus bekerja sendiri untuk bisa makan”
sang ibu meneteskan air mata sambil mengusapnya dengan sapu tangan
“ ma’af ya bu, jadi bikin ibu menangis”         
“tidak apa-apa nak ibu memang sudah biasa seperti ini’’ sang ibu mulai membungkus pesanan dinda          
“ ibu tinggal dimana ?”         
“ibu tinggal di daerah sampangan” 
“ jauh banget bu, jadi dari sana ibu jalan kaki sampai sini“           
“ iya nak, mau naik angkot juga uangnya gak cukup”
Seketika itu ia ingat ibunya yang sedang di rumah sendiri. Betapa kesepian sang ibu ketika setiap hari ia tinggal bekerja seharian. Ia membayangkan betapa hati sang ibu merindukan kasih sayang darinya harta satu-satunya. Selama ini Ia telah menyia-nyiakan ibunya. Tanpa  ia sadari ia telah dibutakan oleh mata kebencian, sehingga ia melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang anak untuk merawat ibunya yang sedang sakit.
Terbesit dalam hati “Ibuku adalah amanah dari allah untuk aku jaga hingga aku berikan semua kasih sayangku kepada beliau. Beliau amanh dari Allah yang harus aku jaga, Namun setelah ayah meninggal aku tak pernah lagi menganggapnya sebagai seorang ibu”     
 Dinda masih saja bengong pandanganya kosong tak tentu arah tujuanya
 “ ini sayurnya nak” dinda kaget dan tersadar dari lamunanya “ iya bu, berapa ini ?”     
 “ sepuluh ribu “ dinda menulurkan uang 50 ribuan “ wah nak ini gak ada kembalianya, kamu tunggu disini dulu ya “           
“ gak usah bu, kembalianya buat ibu saja, buat tambah uang belanja”  
 “ini terlalu banyak nak,”        
“tidak apa-apa bu”    
“ terima kasih ya nak”            
“ saya pergi dulu ya bu, saya harus mengajar ngaji anak-anak yang di musholla” sambil mencium tangan sang ibu.         
“iya nak hati-hati ya”           
“ assalamu’alaikum wr wb”    
“wa’alaikumsalam wr wb”      
dinda  melaju kencang sepedanya namun pikiranya masih terbayang-bayang ibu penjual nasi tadi.  
Selama mengajar ngaji mukanya selalu murung, ia tak fokus dengan mengajar. Dalam pikiranya hanya terfokus pada sang sang ibu yang terbaring tak berdaya di rumah. Ia tak bersungguh-sungguh dalam mengajar ngaji. Dan sering melamun. Ia ingin segera pulang. 
“ kamu kenapa sih din “ tegur vivi teman mushollanya     
“ aku hanya kepikiran dengan ibuku vi”    
“ lho sejak kapan kamu peduli sama ibumu, bukankah selama ini tak pernah peduli dengan ibumu”
“ iya vi, aku baru sadar ternyata selama ini aku salah aku telah durhaka kepada ibuku” sambil menteskan air mata  
“mendingan ngajinya dicukupkan sampai sekian saja, kelihatanya kamu kurang semangat hari ini”     
“iya vi, aku terbebani dengan sikap  salahku kepada ibuku”         
“ ya udah yuk sholat dulu dulu biar hatimu tenang”
“ makasih vi, kamu sahabat yang baik deh” dinda memeluk tubuh sang vivi”                 
mereka berdua sholat \bersama. Setelah itu berdo’a dan memohon ampun kepada allah serta kepada kedua orang tuanya
“ din nanti setelah sholat isya’ aku ikut ke rumahmu ya, aku  ingin lihat keadaan ibu kamu”  
“ iya silahkan saja”    
Setelah selesai sholat isya’ mereka berdua ke rumah dinda dengan bersepeda.
sesampainya di rumah, dinda langsung berlari menuju kamar sang ibu. Ia memeluk erat sang ibu sambil meneteskan air mata “ ibu, maafin dinda ya, selama ini dinda hanya sibuk kerjaan kantor”
“iya nak, tidak apa-apa” si ibu masih lemah terbangun memeluk dinda
“ibu senang kamu sudah sadar” ibu kangen dengan kamu yang dulu
“ ma’afin dinda ya bu, selanjutnya dinda akan lebih meluangkan waktu untuk  ibu, merawat ibu”     
“ iya nak, tetapi jangan sampai melupakan kerjaanmu, juga ibadahmu”
“ya bu” sambil mencium tangan ibu   “ lo yang di luar siapa nak?” sang ibu menengok ke arah pintu.   
“Eh iya itu teman ngajar dinda bu,
“ vivi mari masuk” perintah dinda
   “Iya din”         
Vivi menghampiri ibu dinda dan mencium tanganya           
“Sering-sering main kemari ya nak” 
“ iya bu, kalau ada waktu senggang. Saya pamit pulang ya bu, dinda sudah malam ni”
“ iya nak hati-hati ya”
“Ibu cepat sembuh ya”
tengah malam dinda bangun dan mengambil wudhu ia sholat tahajud kemudian memohon ampun kepada allah atas segala perbuatanya selama ini yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar